Rabu, 05 Maret 2014

KITAB YOSUA



Kitab ini dinamakan demikian menurut nama tokoh yang memegang peran utama yang diceritakan yaitu Yosua (Ibrani4:8).

Yosua (Ibrani, יהושוע - YEHOSYUA' ) berarti 'YHVH Penyelamat' (bhs. Yunani = ιησους - IÊSOUS ) yang adalah seorang keturunan Efraim (Bilangan 13:8) dan lahir di Mesir (Keluaran 33:11). Pada masa Musa ia memimpin umat Israel waktu berperang dengan orang Amalek (Keluaran 17:9), dan menyertai Musa di atas bukit Allah (Keluaran 24:13). Yosua juga termasuk pengintai yang diutus untuk mengumpulkan informasi mengenai tanah perjanjian (Bilangan 13:8, 16), dan pada akhir hidupnya ia dimakamkan di Timnathserah (Yosua 24:29-30).


Penulis Kitab

Tidak ada petunjuk langsung yang menceritakan siapa yang menulis kitab ini, tetapi kemungkinan sebagian besar ditulis oleh Yosua sendiri (Yosua 24:26) dan dilengkapi oleh Tua-Tua Israel maupun para Imam.


Waktu Berlangsungnya

Dalam (11:8;13:6;19:28) kota Tsur tidak disebut, hanya kota Sidon Besar. Ini memberi kesan bahwa peristiwa terjadinya sebelum kota Tsur ditemukan oleh Tutmosis III pada tahun 1485BC.

Dalam (15:63), disebutkan bahwa orang Israel belum merebut/mengusir orang-orang Yebusit, baru pada zaman Daud orang-orang Yebusit terusir dari Yerusalem. Ini menunjukkan keadaan sebelum zaman Daud.

Dari data dalam Kel.1:11, disebut bahwa orang israel harus bekerja keras membangun kota-kota Pitom dan Raamsis, dan dari sejarah diketahui bahwa kota Raamsis dibangun kembali oleh Firaun Sethos I (1302-1290BC) dan Ramesses II (1290-1224BC), jadi kemungkinan terjadinya antara tahun 1300-1200.


Tanggal Penulisan

Abad ke-14 SM


Tema

Menaklukkan Kanaan


Intisari Kitab Ini

Kitab ini menyatakan penggenapan Tuhan akan janjiNya untuk menganugerahkan tanah perjanjian kepada keturunan Israel (Kejadian17:8).


Latar Belakang

Kitab Yosua merupakan kelanjutan sejarah Pentateukh. Kitab Yosua mencatat peristiwa Israel menyeberangi Sungai Yordan memasuki Kanaan setelah Musa wafat, dan juga penaklukan dan menetapnya kedua belas suku Israel di Kanaan di bawah pemimpin Yosua. Tanggal alkitabiah untuk masuknya Israel ke Kanaan adalah sekitar tahun 1405 SM. Kitab ini meliput 25-30 tahun selanjutnya dalam sejarah Israel, mengisahkan bagaimana Allah memberikan kepada Israel
"negeri yang dijanjikan-Nya dengan bersumpah untuk diberikan kepada nenek moyang mereka" (Yosua 21:43).

Sudah sepantasnya, kitab ini dinamakan menurut tokoh utama yang memainkan peranan utama selaku pemimpin yang ditetapkan Allah sepanjang kitab ini.

Sejarah pribadi Yosua mempersiapkannya dengan baik untuk menjadi pemimpin penaklukan. Yosua yang hidup pada akhir masa penindasan Israel di Mesir menyaksikan kesepuluh tulah hukuman, Paskah pertama, penyeberangan ajaib Laut Merah, dan tanda-tanda (dan hukuman-hukuman) adikodrati sepanjang perjalanan Israel di padang gurun. Ia menjadi panglima perang di bawah Musa dalam perang melawan suku Amalek tidak lama sesudah meninggalkan Mesir
(Keluaran 17:8-16), dan hanya ia sendiri yang menyertai Musa naik ke Gunung Sinai ketika Allah memberikan Kesepuluh Hukum (Keluaran 24:12-18). Sebagai pembantu Musa, Yosua menunjukkan suatu pengabdian dan kasih yang mendalam kepada Allah dengan sering kali berada di hadapan Allah untuk jangka waktu yang lama (Keluaran 33:11); dialah orang yang sangat menghargai kehadiran Allah yang kudus. Ia pasti belajar banyak dari Musa, penasihat dan
pembimbingnya yang dipercayai, tentang cara-cara Allah dan kesulitan menuntun umat itu. Di Kadesy Yosua menjadi salah seorang dari dua belas mata-mata yang mengintai negeri Kanaan. Bersama Kaleb, ia dengan gigih menolak laporan ketidakpercayaan sepuluh mata-mata yang lain
(Bil 14:1-45). Bertahun-tahun sebelum menggantikan Musa sebagai pemimpin Israel, Yosua sudah menunjukkan bahwa ia seorang yang beriman, bervisi, memiliki keberanian, setia, taat dengan sungguh-sungguh, tekun berdoa, dan mengabdi kepada Allah dan firman-Nya. Pada saat ia dipilih sebagai pengganti Musa, ia merupakan orang yang "penuh Roh" (Bilangan 27:18; bd. Ulangan 34:9).

Tradisi Yahudi (Talmud) menyebutkan Yosua sebagai penulis kitab ini. Dua kali kitab ini menyebutkan bahwa Yosua menulis kitab ini (Yosua 18:9; Yosua 24:26*). Bukti dari dalam kitab ini dengan kuat menunjukkan bahwa penulisnya telah menyaksikan sendiri penaklukan Kanaan (bd. "kita" dalam Yosua 5:6; perhatikan bahwa Rahab masih hidup ketika penulis menuliskan kitab ini, Yosua 6:25). Bagian-bagian yang ditambahkan setelah Yosua wafat -- mis. Yos 15:13-17 (bd. Hakim 1:9-13); Yosua 24:29-33 -- mungkin ditulis oleh salah seorang tua-tua "yang hidup lebih lama daripada Yosua" (Yosua 24:31). Yosua wafat sekitar tahun 1375 SM ketika berusia 110 tahun (Yosua 24:29).


Tujuan

Kitab Yosua ditulis sebagai catatan mengenai kesetiaan Allah dalam menggenapi janji-janji perjanjian-Nya kepada Israel mengenai tanah Kanaan (Yosua 23:14; bd. Kejadian 12:6-7). Kemenangan-kemenangan penaklukan disebut sebagai tindakan penebusan Allah bagi Israel dan tindakan penghukuman atas kebudayaan Kanaan yang merosot (lihat Ulangan 9:4). Kekerasan di dalam kitab ini harus dilihat dari perspektif ini. Arkeologi menegaskan bahwa kebejatan dan kekejaman yang merajalela menjadi ciri khas dari suku-suku Kanaan yang diganti oleh Israel.


Survai

Kitab Yosua dimulai di mana kitab Ulangan berakhir. Israel masih berkemah di dataran Moab (Ulangan 34:1), di sebelah timur Yerikho dan Sungai Yordan.


Kitab ini terbagi atas tiga bagian.

(1) Bagian pertama (Yosua 1:1--5:15) menggambarkan penugasan Yosua oleh Allah sebagai pengganti Musa dan persiapan Israel untuk memasuki Kanaan (Yosua 1:1--3:13), penyeberangan Sungai Yordan (Yosua 3:14--4:24), dan kegiatan perjanjian mereka yang pertama di negeri itu (pasal 5; Yosua 5:1-12). Allah berjanji kepada Yosua, "Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Ku-berikan kepada kamu" (Yosua 1:3).

(2) Bagian kedua (Yosua 6:1--13:7) menggambarkan bagaimana Israel dengan taat maju melawan kota-kota otonom yang bersenjata lengkap dan memiliki tembok yang dibentengi dengan kuat. Allah memberikan kemenangan-kemenangan menentukan kepada umat-Nya di wilayah tengah (pasal 6-8; Yosua 6:1--8:35), selatan (pasal 9-10; Yosua 9:1--10:23), dan utara (pasal 11-12; Yosua 11:1--12:24) Kanaan, sehingga Israel menguasai wilayah pegunungan (selatan ke utara) sampai ke Negev. Cara luar biasa Israel menaklukkan Yerikho dengan jelas menunjukkan kepada Israel siapa Pemimpin keselamatan mereka (pasal 6; Yosua 6:1-27).
Kekalahan Israel di Ai menunjukkan kejujuran kitab ini dan ketaatan yang sungguh-sungguh yang dituntut Allah dari Israel (pasal 7; Yosua 7:1-26).

(3) Bagian ketiga (Yosua 13:8--22:34) mencatat pembagian tanah oleh Yosua kepada ke-dua belas suku, warisan Kaleb, enam kota perlindungan, dan ke-48 kota Lewi di antara suku-suku itu. Kitab ini diakhiri dengan dua amanat perpisahan Yosua (Yosua 23:1--24:28) dan pernyataan singkat tentang penguburan Yosua dan Eleazar (Yosua 24:29-33).


Ciri-ciri Khas

Tujuh ciri utama menandai Kitab Yosua.

(1) Kitab ini menjadi kitab sejarah PL pertama yang melukiskan sejarah Israel sebagai bangsa di Palestina.

(2) Kitab Yosua memberikan pengetahuan banyak tentang kehebatan hidup Yosua selaku pilihan Allah untuk menyelesaikan tugas Musa; tugasnya ialah menegakkan Israel sebagai umat perjanjian di tanah perjanjian.

(3) Kitab ini mencatat banyak sekali mukjizat ilahi demi Israel, dua yang paling menakjubkan ialah kejatuhan Yerikho (pasal 6; Yosua 6:1-27) dan perpanjangan waktu siang hari pada saat pertempuran di Gibeon (pasal 10; Yosua 10:1-43).

(4) Inilah kitab PL terkemuka yang menggambarkan konsep "perang suci" sebagai suatu tugas khusus dan terbatas yang ditetapkan Allah di dalam konteks sejarah keselamatan.

(5) Kitab ini menekankan tiga kebenaran akbar mengenai hubungan Allah dengan umat perjanjian-Nya:
- kesetiaan-Nya,
- kekudusan-Nya, dan
- keselamatan-Nya.

(6) Kitab ini menekankan pentingnya mempertahankan warisan tindakan-tindakan penyelamatan Allah demi umat-Nya dan pentingnya melestarikan warisan tersebut dari angkatan ke angkatan.

(7) Kisah panjang dalam kitab ini mengenai pelanggaran Akhan dan hukumannya (pasal 7; Yosua 7:1-26), bersama dengan berbagai nasihat, peringatan, dan hukuman lainnya, menekankan pentingnya takut akan Tuhan di dalam hati umat Allah.


Penggenapan Dalam Perjanjian Baru

Nama Yosua (Ibrani : יהושוע - YEHÕSYÛA'  atau Aram : ישוע - YÊSYÛA'  ) adalah nama Ibrani yang sepadan dengan "Yesus" (Yunani : ιησους - IÊSOUS ) dalam PB

Di dalam peranan menuntun Israel memasuki tanah perjanjian, Yosua menjadi lambang PL dari Yesus yang berperanan untuk "membawa banyak orang kepada kemuliaan" (Ibrani 2:10; Ibrani 4:1-13 bd.2Kor 2:14). Juga, sebagaimana Yosua yang pertama menggunakan pedang hukuman Allah yang dahsyat dalam penaklukan, demikian pula Yosua kedua akan menggunakannya dalam penaklukan atas bangsa-bangsa pada akhir sejarah (Wahyu 19:11-16).

nadasilitonga



Holman Bible Dictionary

Joshua, the Book of

The Book of Joshua is the sixth book of the English Old Testament. It is the first book of the second division of the Hebrew Old Testament, the Prophets. The book is named after its central character, Moses' successor, Joshua the son of Nun.
Authorship and Date The Former Prophets are all anonymous. That means that no author is mentioned in the book. Some Bible students think Joshua wrote the book except for the death reports (Joshua 24:29-33 ); but the book gives no indication that Joshua had anything to do with writing the whole book, though he did write the laws on which the covenant renewal was based (Joshua 24:26 ).
It is also difficult to date the writing of books like this. Some Bible students suggest a time about a hundred years after Joshua's death, or at least by the time of the beginning of the monarchy. A date around 1045 B.C. would place it within the lifetime of Samuel, who was in a sense the last of the judges and the one who anointed the first two kings. Other Bible students think the Book of Joshua only reached its present form when the Former Prophets were collected together during the Exile.
The events of the book apparently took place in the last half of the thirteenth century, from about 1250 to 1200 B.C., though some would date the Exodus and the conquest earlier, in the middle of the fifteenth century.
Contents The Book of Joshua tells the story of a significant Bible event, the conquest of the land of Canaan. It tells this story in light of the theological themes of the Book of Deuteronomy, and thus the historical books of Joshua, Judges, Samuel, Kings are often spoken of as the Deuteronomic History.
The book has only two main parts, and an appendix:
I. The Conquest of the Land, 1–12.
II. The Settlement of the Land, 13–22.
III. Joshua's Farewell Addresses, 23–24.
The Book of Joshua standardizes the conquest stories to some extent. For example, the accounts are from the standpoint of the general who led the entire nation, whereas the Book of Judges is more from the standpoint of the foot soldier who did the actual fighting.
A surface reading of the Book of Joshua would give the impression that the invasion was complete and final. However, numerous passages (Joshua 13:13 ; Joshua 15:63 ; Joshua 16:10 ; Joshua 17:12-13 ,Joshua 17:16-18 ) agree with the Book of Judges to show that it was up to the individual clans to root out the many pockets of Canaanite resistance still scattered throughout the land. The difference is between occupation and subjugation, the former in the Book of Joshua and the latter in the Book of Judges.
Through it all, the emphasis of the book is on the Lord's mighty acts. Joshua was rightly celebrated as an effective military leader. The people were generally obedient and courageous. However, the glory goes to God alone (Joshua 3:10 ; Joshua 4:23-24 ; Joshua 6:16 ). He is the true hero of the book.
Nature of the Covenant in the Book of Joshua The Lord's covenant with His people was always more universalistic and inclusive than we usually realize. We see this clearly in the Book of Joshua. Rahab, the Canaanite prostitute, was accepted, along with her family, as a part of the covenant community (Joshua 2:9-13 ; Joshua 6:22-23 ,Joshua 6:22-23,6:25 ). It may well be that people related to the Hebrews who lived in the Shechem area voluntarily joined in their fellowship of faith (Joshua 8:30-35 ). The people of Gibeon and its four-city league of cities were accepted, and even became associated with Temple service (Joshua 9:3-27 ). The covenant was not limited by race or nation; it was open to anyone of faith.
Holy War in the Book of Joshua The Hebrews did not divide life up into sacred and secular spheres as we do. To them all of life was holy, in the sense that it was lived under the direction of the Lord. They saw the Lord at work on behalf of His people in every area of life. Thus the soldiers were holy. They were under strict religious regulations. Religious ceremonies prepared them for battle (Joshua 5:2-11 ).
The Lord received the credit for all victories. All of the spoils of battle belonged to Him (Joshua 6:18-19 ). None was to be taken for personal use. This is related to the idea of cherem or ban. It might seem ruthless or even immoral by our modern Western standards, but it was a part of the world of that day. A certain city, for instance Jericho in Joshua 6:1 , was placed under the ban. It was devoted to destruction in the name of the Lord. Everything in it was to either be destroyed or else placed in the Lord's service in the tabernacle.
The ban was a common practice in the Semitic world and was also known among the Greeks. Some suggest that it served to control looting and that it offered an enemy encouragement to surrender without a struggle.
Moral Problems of the Book of Joshua The Book of Joshua is filled with war, conquest, and destruction. Its teaching is that the Lord allowed his people to conquer the land of Canaan, to take possession of the area He had promised to the patriarchs.
But why would the Lord allow one nation to attack and defeat another? Several factors need to be taken into consideration in studying a book that has so little of loving your enemy or turning the other cheek.
One must begin by admitting that Joshua lived centuries before Christ appeared to reveal the Father's will fully and completely. We should not expect to find completed Christian truth in a book written so long before Christ came.
The Hebrew people saw paganism as a poison. Pagan religious views were a spiritual infection that was both highly contagious and deadly. It could be controlled only by strict quarantine and eradication. Holy war became God's method in that setting to achieve this purpose. Holy war was not set up as an eternal example (compare Deuteronomy 20:16 ).
One element in the explanation for the holy wars of Joshua is judgment on sin. The iniquity of the Amorites (Canaanites) was at last full (Genesis 15:16 ). The catch to this arrangement is that if the other nations could be judged for their sins, the Hebrew people could, too, and later were. See Conquest; War;Joshua .
Outline
I. God Brought Victory to a People of the Book (Joshua 1:1-12:24 ).
A. To possess the promise, God's people must be faithful to the book (Joshua 1:1-18 ).
B. God uses unexpected persons to fulfill His promises (Joshua 2:1-24 ).
C. God exalts His leaders and proves His presence so all people may know Him (Joshua 3:1-4:24).
D. God's people must worship Him to prepare for the victories He promises —(Joshua 5:1-15 ).
E. Divine power, not human might, provides victory for God's people (Joshua 6:1-27 ).
F. A disobedient people cannot expect God's victories (Joshua 7:1-26 ).
G. A repentant people receive a strategy for victory from God (Joshua 8:1-35 ).
H. Human cunning and disobedience cannot overcome the purposes of God (Joshua 9:1-27 ).
I. God fights for His people (Joshua 10:1-43 ).
J. God fulfills His promises, giving victory to an obedient people (Joshua 11:1-12:24 ).
II. God Divides the Spoils of Victory According to the Needs of His People (Joshua 13:1-21:45 ).
A. The complete rest is still incomplete (Joshua 13:1-7 ).
B. History shows God's provision for His people (Joshua 13:8-33 ).
C. God rewards heroes of faith (Joshua 14:1-15 ).
D. God fulfilled His promise of land to His people (Joshua 15:1-17:13 ).
E. God provided for specific needs of His people (Joshua 17:14-18 ).
F. God called a hesitant people to action to receive the promised gift (Joshua 18:1-10 ).
G. God gave the land to an obedient people (Joshua 18:11-19:48 ).
H. God and His people rewarded their faithful leader (Joshua 19:49-51 ).
I. God decreed legal protection for the accused among His people (Joshua 20:1-9 ).
J. God provided for the needs of His priests (Joshua 21:1-42 ).
K. God fulfills all His promises (Joshua 21:43-45 ).
III. God Calls His Victorious People to Unity in Worship and Devotion (Joshua 22:1-24:33 ).
A. God's rest, commandments, and blessing unify His people (Joshua 22:1-6 ).
B. Worship unifies God's people forever despite geographical barriers (Joshua 22:7-34 ).
C. Israel had to be faithful to God's direction or face the loss of His gifts (Joshua 23:1-16 ).
D. God calls His people to remember the history of God's faithfulness and choose to serve only Him (Joshua 24:1-28 ).
E. Faithful leaders keep a people faithful (Joshua 24:29-33 ).
(Dan Gentry Kent)

PERANG DALAM PERJANJIAN LAMA: 

PROBLEM REINTERPRETASI

(Yonky Karman)

Dalam pendahuluan Tractatus theologico-politicus (1670), filsuf keturunan Yahudi Baruch Spinoza (1632-1677), yang dibesarkan dalam tradisi kitab suci Ibrani dan Talmud, mengkritik perang dalam Per­janjian Lama (PL) sebagai berdampak negatif bagi agama dan  pemahaman kitab suci sebagai wahyu ilahi. Menurutnya, Alkitab PL kehilangan otoritas dan sedikit saja relevansinya untuk hal etika dan kesalehan. Kritik Spinoza masih relevan sampai sekarang, kendati ada upaya-upaya yang dilakukan teolog dan ahli biblika untuk meng­artikan fenomena pe­rang dalam PL secara lebih positif.
Problem
Kata Ibrani milkhamah (perang) muncul lebih dari 300 kali mu­lai dari kanon Torah (Kej. 14:2) sampai Ketubim (Dan. 9:26). Banyak fenomena perang dalam gambaran narasi PL (Yosua, Hakim-hakim, 1 Samuel) dila­ku­kan tanpa belas kasihan. Tentu itu sungguh menghe­rankan meng­ingat PL bukan buku sejarah, melainkan kitab suci, wahyu dari Tuhan kepada manusia. Dalam Taurat, Tuhan terang-terangan mengarahkan umat Israel untuk berperang tanpa belas kasihan jika tawaran untuk berdamai ditolak (Ul. 20:10-18). Untuk bangsa yang jauh, setelah mereka dika­lahkan, seluruh penduduk lelakinya harus dibunuh dengan pedang, yang lain ditawan, dan harta bendanya dirampas (ay. 13-15). Untuk bangsa yang dekat (Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi, dan Yebus), kota-kota mereka akan dialihkan menjadi milik Israel. Mereka juga akan ditumpas habis supaya orang Israel tidak dipengaruhi praktik-praktik agama mereka (ay. 16-18). Salah satu alasan kenapa Allah dalam PL merestui perang adalah dengan berbagai cara Tuhan telah digambarkan sebagai raja yang terlibat langsung dalam perang umat-Nya (divine warrior, Gibson, 1998:123-25)). Orang Israel perta­ma kali menyebut Yahweh sebagai ’is milkhamah ”pahlawan pe­rang,” ketika pasukan Mesir yang mengejar mereka binasa (Kel. 15:3). Bebe­rapa contoh berikut menggambarkan Tuhan sebagai pahlawan pe­rang.
Siapakah Raja Kemuliaan itu? TUHAN, jaya dan perkasa, TUHAN, perkasa dalam peperangan (Mzm. 24:8)
Terpujilah TUHAN, gunung batuku, yang mengajar tanganku untuk pertem­puran, dan jari-jariku untuk perang (Mzm. 144:1)
TUHAN keluar seperti pahlawan, seperti orang perang Ia membangkitkan semangat; Ia bertempik sorak, ya, Ia memekik, terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepah­lawanan-Nya (Yes. 42:13)
Kemudian TUHAN akan keluar dan berperang melawan bangsa-bangsa itu sebagaimana Ia berperang pada hari pertempuran (Za. 14:3)
Sering sebutan (epitet) tseba’ot (bentuk jamak dari tsaba’ artinya bala tentara) dikaitkan dengan citra Tuhan yang berperang (God of war). [1] Ada sepuluh kombinasi epitet tseva’ot nama TUHAN sebanyak 285 kali dalam bahasa Ibraninya: Yahweh tseba’ot ”TUHAN semesta alam” (240x, 1Sam. 1:3), Yahweh-’Elohim tseba’ot ”TUHAN, Allah se­mes­ta alam” (4x, Mzm. 59:6; 80:5, 20; 84:9), ’Elohim tseba’ot ”Allah se­mesta alam” (2x, Mzm. 80:8, 15), Yahweh ’Elohei tseba’ot ”TUHAN, Allah semesta alam” (14x, 2Sam. 5:10), Yahweh ’Elohei hatseba’ot ”TUHAN, Allah semesta alam” (2x, Hos. 12:6/5; Am. 6:14), Yahweh ’Elohei tseba’ot ’adonai”TUHAN, Allah semesta alam, Tuhanku” (1x, Am. 5:16), ’adonai Yahweh tseba’ot ”Tuhan ALLAH semesta alam” (15x, Yer. 2:19), ’adonai Yahweh hatseba’ot ”Tuhan ALLAH semesta alam” (1x, Am. 9:5), ’adonai Yahweh ’Elohei hatseba’ot ”Tuhan ALLAH, Allah semesta alam” (1x, Am. 3:13), ha’adon Yahweh tseba’ot ”Tuhan, TUHAN semesta alam” (5x, Yes. 1:24; 3:1; 10:16, 33; 19:4).  (THAT 2:499)Ayat yang sering dipakai untuk mendukung pendapat bahwa epitet tseba’ot untuk Tuhan berkaitan dengan aktivitas-Nya dalam berperang adalah 1Sam. 17:45 ”TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel.” Dalam ayat itu, nama ”TUHAN semesta alam” dikaitkan dengan bala tentara Israel dan perang. Tuhan dipahami secara militeristik (bnd. ”The Lord of hosts” dalam banyak terjemahan Inggris).
Tentu saja keterlibatan Allah dalam perang menimbulkan masa­lah baik secara teologis, wahyu, maupun moral (Craigie, 1978:11). Citra Allah yang berperang tidak sesuai dengan citra-Nya sebagai Allah yang pengasih dan penyayang, Allah yang berkorban, atau bahkan dengan sebutan ”Raja Damai” (Yes. 9:5-6). Bagaimana perang bisa dipakai Tuhan sebagai sebuah cara mewahyukan diri-Nya dan wahyu itu menjadi bagian dari kitab suci? Bagaimana mesti menilai morali­tas perang yang sudah melebihi fungsi mempertahankan diri atau menegakkan kedaulatan teritorial?
Nama Tuhan
Sebelum masuk ke dalam solusi teologis tentang masalah perang dalam PL, hendaknya epitet tseba’ot untuk nama Tuhan tidak terlalu cepat dikaitkan dengan citra Tuhan yang berperang. Arti epitet itu sendiri masih  diperdebatkan (THAT 2:503). Itu sebabnya leksikon Ibrani yang belakangan tidak memutlakkan arti tseba’ot apakah itu bala tentara Israel, malaikat, atau bintang-bintang di langit. [2] Untuk menunjuk pada malaikat dan benda-benda angkasa, tsaba’tidak per­nah ditulis dalam bentuk jamak tseba’ot (THAT 2:505), melainkan ben­tuk tseba’aw atau tseba’ hassamayim. [3] Untuk menunjuk pada tentara malaikat dipakai (koltseba’ hassamayim (1Raj. 22:19 // 2Taw. 18:18; Dan. 8:10; Neh. 9:6) atau kol tseba’aw (Mzm. 103:21; 148:2), sedangkan untuk menunjuk matahari, bulan, dan bintang-bintang dipakai kol tseba’ hassamayim (Ul. 4:19; 17:3; 2Raj. 17:16;  21:3 dan 5 // 2Taw. 33:3 dan 5; 2Raj. 23:4, 5; Yes. 34:4; Yer. 8:2; 19:13; 33:22; Zef. 1:5), kol tseba’am (Yes. 34:4; 45:12; Mzm. 33:6; Neh. 9:6), atau tseba’am saja (Yes. 40:26).
  Arti yang terkandung dalam bentuk jamak tseba’ot diduga su­dah bergeser dari bentuk tunggalnya, yakni sebagai intensiven Abstrakt­plural atau jamak intensif. Dua alasan mendukung pema­ham­an demi­kian demikian adalah (THAT 2:505-7), pertama, epitet tseba’ot paling sering diterjemahkan dalam LXX sebagai kurios pantokratôr ”Tuhan dari segala penguasa” (2Sam. 5:10), baru kemu­dian kurios Sabaôth (”Tuhan Sebaot”) meniru bunyi Ibraninya (ter­utama dalam 1Sam., Yes.), jarang sekali dengan kurios tôn dynameôn ”Tuhan yang kuat” (Mzm., 2Raj.). Kedua, ’adonai tseba’ot merupakan sebutan khusus untuk Tuhan yang bertakhta di atas kerubim (2Sam. 6:2 // 1Taw. 13:6; 1Sam. 4:4; bnd. 2Raj. 19:15 // Yes. 37:16; Mzm. 80:2; 99:1), menunjuk pada raja yang berkuasa. Dalam Kitab Samuel dan Yesaya, epitet ini menunjuk pada Tuhan yang atribut utama-Nya adalah keagungan raja (royal majesty).
Berbeda dari Septuaginta yang menerjemahkan Ibrani tseba’ot dengan tiga cara (kurios pantokratôrkurios Sabaôthkurios tôn dyna­meôn), versi-versi Alkitab modern berusaha konsisten dengan satu pilihan terjemahan. Alkitab Indonesia (TB) menerjemahkan tseba’ot sebagai ”semesta alam.” Yang menarik, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta dijumpai ungkapan ”Tuhan seru semesta sekalian” (bukan ”Tuhan semesta alam”) dengan arti ”Tuhan yang mengu­a­sai segala yang ada.” Apakah arti ini yang melatari terje­mah­an TB ”Tuhan semesta alam?” Alkitab Jerman versi Luther secara konsisten (PL dan PB) menirukan bunyi tseba’ot seperti Septuaginta ”HERR/Herr Zebaoth.” Seperti banyak versi Inggris lainnya, NKJV menerjemahkan ”The LORD of hosts” (Rom. 9:29, Yak. 5:4 NKJV: ”the LORD/Lord of Sabaoth” sesuai bunyi teks Yunani). Beberapa pakar bahasa Ibrani Indonesia setuju bahwa terjemahan ”TUHAN semesta alam” (TB) untuk Yahweh tseba’ot kurang tepat dan menganjurkan ter­je­mahan ”Tuhan yang Mahakuasa” (bnd. BIS, NIV ”the LORD/Lord Almighty” Baker, 2000).
Tampaknya, terjemahan ”TUHAN yang Mahakuasa” memang per­lu dipertimbangkan mengingat Septuaginta lebih banyak memakai terjemahan kurios pantokratôr yang artinya dekat sekali dengan ”Tuhan yang Mahakuasa”. Selain itu, nama kurios pantokratôr dan kurios Sabaôth muncul hanya tiga kali dalam PB dengan gagasan Tuhan yang mahakuasa: kurios pantokratôr sekali (2Kor. 6:18 TB ”Tuhan, Yang Mahakuasa”) dankurios Sabaôth dua kali (Rm. 9:29, Yak. 5:4 TB ”Tuhan semesta alam”). Dalam Kitab Roma, Paulus se­dang mengutip Yesaya 1:9 dan menjelaskan adanya sedikit orang Yahudi saat itu yang percaya pada Yesus sebagai Mesias merupakan bukti kekuasaan Tuhan. Ia tidak menghukum habis Israel seperti Sodom dan Gomora. Dalam Kitab Yakobus, nama Tuhan disebut dalam konteks agar jemaat yang kaya saat itu tidak menahan upah buruh mereka yang telah bekerja, sebab keluhan para buruh telah didengar Tuan segala tuan. Demikianlah, gagasan ”Tuhan yang Mahakuasa” dari PL diteruskan ke dalam PB, sehingga layak dipertimbangkan arti tersebut untuk epitet Tuhan tseba’ot. Dengan arti ini, tseba’ot untuk Tuhan tidak harus dikaitkan dengan aktivitas berperang sebagaimana pemahaman sebagian sarjana biblika.
Cara Tafsir
Secara garis besar ada empat cara menafsir ihwal perang yang direstui Tuhan dalam PL. Pertama, arti harafiah teks dihindari atau historisitas dari kejadian yang dilaporkan ditolak. Untuk menghindari konsekuensi moral-teologis dari masalah perang dalam PL, cara lain yang dipakai adalah dengan mengkategorikan narasi-narasi perang di Alkitab sebagai bukan realitas sejarah. Bagi penganut hipotesis Seja­rah Deuteronomik, Kitab Yosua s/d 2 Raja-raja merupakan hasil re­flek­si umat Israel (pasca)pembuangan agar generasi mereka dan seterusnya setia kepada Tuhan. Cerita-cerita tentang perang itu hanya dimaksudkan sebagai bahan pengajaran iman, bukan menyajikan keja­dian sesungguhnya. Sebagai contoh, setelah mendapati ketidakcocok­an temuan arkeologis dengan beberapa data dalam Kitab Yosua, yang diambil hanya makna teologis pendudukan tanah Kanaan oleh bang­sa Israel.
One possible explanation is that the text in Joshua is not as interested in historical details as it is in making the theological point that the victory was engineered by Yahweh, the Divine Warrior. (Matthews dan Moyer, 1997: 70).
Cara tafsir seperti ini masih menyimpan persoalan. Mengapa untuk membina iman umat dipakai cerita-cerita perang, yang memberikan kesan bahwa Tuhan merestui berbagai tindak kekerasan dalam perang? Mengapa narator Alkitab tidak memakai bahan pengajaran iman yang lebih bersifat damai?
Kedua, historisitas kejadian perang dalam PL tidak dipersoalkan. Kemenangan orang Israel dalam perang diartikan secara rohani se­bagai kemenangan iman yang teguh, kemenangan dalam peperangan rohani. Berikut ini sebuah contoh perohanian instruksi pembantaian massal atas penduduk Kanaan (Ul. 20:16-18).
Accomodation to morally corrupt and idolatrous Canaanite reli­gion would imperil Israel’s uniqueness as the Lord’s holy people. It would ruin them, exalt idols and grieve God (Brown, 1993: 200).
Persoalannya, bolehkah atas nama menjaga kemurnian iman, pihak-pihak yang tidak terlibat perang, seperti anak-anak dan perempuan, ikut dibunuh? Bukankah pendudukan Tanah Perjanjian di mata orang Kanaan dapat dikategorikan sama dengan penjajahan?
Ketiga, realitas perang itu diakui secara serius sebagai degradasi moral. Konsep Tuhan sebagai pahlawan perang dalam PL dipandang sebagai primitif pra-Kristen, murni hasil imajinasi manusia tentang Tuhan, dan sama sekali bukan konsep hasil wahyu. Konsep Tuhan sebagai pahlawan perang adalah cara orang Israel kuno mengiden­tifikasi Yang Ilahi sama seperti bangsa-bangsa lain pada zaman itu memiliki dewa perangnya masing-masing. Karena itu, nurani umat Kristen tidak perlu merasa terganggu dengan konsep itu. Standar moral-teologis mereka adalah PB. Konsep Allah dalam PL itu dapat dibuang dan diganti dengan konsep yang ada dalam PB, yang Kris­ten, yang lebih mulia. Itulah Allah yang mengasihi. Pandangan itu diadopsi dari ilmu sejarah agama-agama, sebuah tinjauan fenomeno­logis tentang perkembangan (evolusi) agama.
Akhirnya, Craigie (1978:37-38) mewakili pendekatan keempat. Ia mengkritik teolog modern yang mengambil begitu saja teori evolusi agama atau menilai PL secara teologis sudah kadaluwarsa. Craigie merujuk pada PB ketika Stefanus dan Paulus membenarkan konsep Allah sebagai yang memerdekakan bangsa Israel dari Mesir (Kis. 7:35-36; 13:17). Itulah cikal bakal konsep Tuhan sebagai pahlawan perang da­lam PL. Karena itu, ia menolak PB sebagai hasil perkembangan linier PL seperti gerak maju ilmu pengetahuan dan teknologi (Craigie, 1978: 38n10).
Too easily, it may be assumed that the extraordinary develop­ments in science and technology are paralleled by developments in ethics and morality. But in the matter of war, mankind has not clearly progressed, and may indeed have regressed from the standards of the Biblical period.
Dengan kritis Craigie menegaskan, dalam ukuran moralitas zaman yang lebih modern tidak serta-merta berarti lebih baik daripada zaman kuno. Tidak sulit memahami yang dimaksud Craigie. Betapa mengenaskannya para korban budak seks oleh tentara Jepang pada Perang Dunia Kedua, pemusnahan etnis Bosnia, para korban perang di negara-negara Afrika sampai hari ini. Memang ada Konvensi Ge­neva yang membatasi tindak sadisme dalam perang modern. Namun, bukankah konvensi itu diberlakukan karena realitas dalam perang-perang yang dilakukan manusia modern?
Sayang, teori evolusi agama dalam praktiknya secara subtil hi­dup di kalangan Kristen tertentu berkat kerancuan dengan paham wahyu progresif (progressive revelation). Wahyu progresif adalah cara Allah untuk menyatakan diri secara bertahap dalam satu kurun waktu ter­tentu, dan dari waktu ke waktu penyataan itu semakin jelas. Substansi wahyu yang kemudian tidak bertentangan dengan sub­stansi wahyu sebelumnya dan juga tidak membatalkannya, tetapi melengkapi. Namun, secara keliru wahyu progresif dipahami sebagai perkem­bang­an wahyu secara evolusioner yang klimaksnya adalah kesem­purnaan dalam PB. Konsekuensinya, yang sempurna meniada­kan yang tidak sempurna. Itu sebabnya sekalipun dalam pengakuan iman, otoritas PL dan PB diakui sama selaku firman Allah, dalam praktik­nya PB lebih diutamakan dan wahyu dalam PL dianggap kelas dua. Padahal, bagi orang Kristen generasi pertama di Palestina, PL adalah firman Allah, tidak kurang dari itu. Mengapa generasi Kristen beri­kutnya menggeser PL ke status kelas dua? Dengan menjadi ”marci­onis” [4] dalam praktik, sebenarnya tersirat sikap tidak konsisten orang Kristen terhadap kitab sucinya sendiri.
Craigie menerima historisitas narasi perang dalam PL sekalipun disadari tidak mudah menjelaskannya. Yang menarik, ia melihat perang-perang itu dalam bingkai seluruh pewartaan Alkitab. Sekali­pun Allah nyata terlibat dalam perang-perang Israel, Israel tetap se­buah bangsa yang terdiri atas orang-orang berdosa dan institusi pe­me­rintahannya bersifat duniawi, termasuk memakai perang sebagai cara mempertahankan eksistensinya (ps. 6). Menurutnya, perang murni berasal dari hawa nafsu manusia (Yak. 4:1, NKJV).
Itu juga penegasan Terry L. Brensinger (1999: 237-38) ketika menyoroti keke­jam­an perang yang dilakukan orang Israel dalam Kitab Hakim-hakim sebagai tindakan yang banyak tercampur unsur-unsur emosi dan ambisi manusia yang sebenarnya tidak direstui Allah.
A great deal of the bloodshed in Judges has nothing whatever to do with God. Instead, it continually grows out of a multitude of human emotions and ambitions .... these warlike adventures are humanly designed and initiated.
Sebagai contoh, Brensinger mengambil kisah Gideon (ps. 8) dan Samson (15:7-8) yang bertindak kejam untuk memuaskan dendam pribadi. Abimelekh menghabisi begitu banyak orang demi ambisi kekuasaan (ps. 9). Yefta menghabisi kaum Efraim karena kebencian (12:1-6). Akhirnya, orang Israel secara kolektif melakukan kekejaman perang sebagai solusi untuk problem yang sebenarnya mereka buat sendiri (ps. 21). Menurut Bensinger, tidak satu kali pun dalam kasus-kasus itu Tuhan memerintahkan orang Israel bertindak kejam. Dan usai perang, Tuhan juga tidak memberikan penghargaan atas tindak­an brutal mereka.
Kenyataan di mana Tuhan dibawa-bawa dalam perang umat, melahirkan salah kaprah dengan munculnya terminologi ”perang su­ci” dalam wacana studi PL, seperti judul buku monumental Gerhard von Rad Der heilige Krieg im alten Israel (1951). [5] Yang memprihatinkan sebenarnya adalah anggapan bahwa agama Kristen mengenal sema­cam perang jihad seperti terjadi pada Perang Salib yang mengisi lembaran hitam sejarah gereja. Tetapi menurut Craigie (1978: 48-50), istilah ”perang suci” tidak ada dalam PL dan asal-usul konsep itu berasal dari kultur Yunani kuno. Yang ada dalam Alkitab adalah milkhamot Yahweh ”perang-perang TUHAN” (Bil. 21:14 TB ”peperang­an TUHAN”; 1Sam. 18:17, 25:28 TB ”perang TUHAN”). Itu sebabnya mengingat kebrutalan dan kekejaman perang, Craigie (49) keberatan dengan istilah ”perang suci.”
While it is clear that the wars were religious in character, were they holy? Did God’s command and God’s presence transform something essentially evil into a holy act? Can the ruthless requi­rement for the extermination of the enemy—men, women, and children—in any way be regarded as holy? I think that it can not!
Perang yang membawa-bawa agama seperti dalam PL, sekalipun atas perintah Tuhan, tidak serta-merta suci dalam pelaksanaannya. Terlalu banyak unsur hawa nafsu manusia yang terlibat. Namun, pada satu fase sejarah keselamatan, perang demikian pernah dibenarkan Tuhan. Keterlibatan Tuhan di situ lebih dikarenakan proses sejarah umat Israel, bukan menjadi pembenaran atas perang itu sendiri. Bagai­manapun, larangan membunuh tetap berlaku (ps. 5). [6] Namun, pada tahap itu, kalah dalam perang bagi umat Israel merupakan konsekuensi dari kegagalan mereka memelihara perjanjian dengan Tuhan dan me­lakukan perintah-perintah-Nya dengan setia (ps. 7). Visi global Tuhan dalam jangka pan­jang dan abadi adalah perdamaian (ps. 8).
Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. (Yes. 2:4 // Mi. 4:3)
Menurut visi Alkitab, perang hanya akan membuahkan perang lain. Sebisanya dan sebanyak-banyaknya peralatan perang harus diubah menjadi peralatan pertanian. Sampai di sini kita perlu berhenti dan segera masuk ke dalam evaluasi kritis. [7]
Reinterpretasi
Menimbang beberapa solusi tentang perang dalam PL, ternyata selain interpretasi pada lapis pertama, harus ada juga interpretasi pada lapis kedua (Karman: 2000). Pada lapis pertama, perang dalam PL secara prima facie mendapat pembenaran teologis. Perang yang menghalalkan darah musuh termasuk mereka yang tidak terlibat perang, pembakaran, penjarahan, semua kejahatan kemanusiaan itu (crimes against humanity) mengalami peluhuran (sublimasi). Namun, jika interpretasi berhenti di situ, sikap-sikap fundamentalistik dapat menguat dalam penyelesaian masalah melalui kekerasan dan  perang. Contoh gamblang adalah Zionisme dan pelecehan hak-hak warga Palestina di Timur Tengah. Di dekat kita, konflik Maluku (Ambon) dan Poso berkembang menjadi pertikaian antarumat beragama.
Praktik-praktik perang dalam PL tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Selalu ada maksud-maksud soteriologisnya, yakni demi efek pengudusan dan keselamatan umat masa itu. Pembenaran perang itu hanya berlaku untuk masa itu. Perang pada masa itu merupakan peristiwa konstitutif bagi proses kelahiran Israel sebagai umat Allah. Maka, contoh-contoh perang dalam PL tidak untuk di­ulangi pada zaman yang berikutnya, cukuplah untuk masa itu saja (einmalig). Karena sifat einmalig-nya itu, perang yang dibenarkan dalam PL tidak serta-merta menjadi pedoman moral preskriptif untuk masa sesu­dahnya yang kondisi sosialnya sudah berbeda. Untuk masa yang berbeda itu, diperlukan interpretasi atas interpretasi lapis pertama (reinterpretasi) supaya yang diamalkan bukan kehancuran dan kematian tetapi kehidupan dan kesejahteraan.
Kalau begitu, perang dalam PL dapat dikatakan merupakan pro­blem teologis dan reinterpretasi. Dengan mengkategorikannya seba­gai problem teologis, tidak berarti kriteria evaluasi dari hak-hak asasi manusia diabaikan. Justru, setelah menafsir teks-teks perang dalam kerangka sejarah keselamatan, tahap berikutnya adalah menafsir teks-teks itu dalam konteks kesadaran akan hak-hak asasi yang semakin tinggi. Dengan reinterpretasi ini, perang dalam PL tidak dijadikan sebuah model solusi konflik. Untuk masa kini dan seterusnya, per­damaianlah yang menjadi visi sejarah keselamatan.

Kepustakaan

Baker, D. L.,  et al. 2000. Pengantar Bahasa Ibrani. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brown, Raymond. 1993. The Message of Deuteronomy: Not by Bread Alone. Leicester: IVP.
BDB                    Brown F., S.R. Driver, dan C.A. Briggs. 1907. A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament. Oxford: Clarendon, 1907.
Brensinger, Terry L. 1999. Judges (Believers Church Bible Commentary). Scottdale: Herald.
Craigie, Peter C. 1978. The Problem of War in the Old Testament. Grand Rapids: Eerdmans.
Karman, Yonky. 2000. ”Sublimasi Kekerasan dalam Agama.” Kompas 8 September.
Matthews, Victor H., Moyer, James C. 1997. The Old Testament: Text and Context. Peabody: Hendrickson.
THAT         Theologisches Handbuch zum Alten Testament, ed. E. Jenni dan
C.       Westermann, 2 Jilid, Munich, 1971-1976.


[1] F. Brown, S. R. Driver, dan C. A. Briggs, A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (Oxford: Clarendon, 1907) atau BDBab'c' (tsava - 4), 839. Lihat juga Craigie (1978: 35-36).
[2] Perhatikan tanda tanya untuk ketiga arti itu pada A Concise Hebrew and Aramaic Lexicon of the Old Testament (ed. W. L. Holladay, Grand Rapids, 131993), ab'c' (tsava - B), 302. Sementara itu, BDBab'c' (tsava - 4), 839, berpendapat bahwa konsep malaikat dan bintang-bintang sebagai pasukan Tuhan lebih belakangan.
[3] Untuk daftar ayat yang lengkap, lihat BDBab'c' (tsava - 1b-c), 839.
[4] Karena tidak mampu memahami kontradiksi-kontradiksi di antara PL dan PB, Mar­cion († ca. 160 AD) menolak PL dan hanya mengakui PB sebagai yang benar-benar firman Tuhan. Ia menerbitkan PB menurut versinya sendiri yang terdiri atas Injil Lukas yang telah disingkat dan sepuluh surat kiriman Paulus minus surat-surat penggembalaan.
[5] Atau Holy War in Ancient Israel (Tr. dan ed. M. J. Dawn; Grand Rapids: Eerdmans, 1991).
[6] Menurut hemat saya, argumen Craigie dapat dibandingkan dengan sistem perbu­dakan yang sudah melekat dalam institusi sosial pada zaman Alkitab. Tuhan dalam PL, Yesus dalam PB, bahkan Paulus tidak berkampanye melawan perbudakan. Namun, tidak berarti Tuhan membenarkan praktik perbudakan. Umat manusia perlu waktu hampir dua ribu tahun lagi untuk sampai pada kesadaran kolektif bahwa perbudakan harus dikecam.
[7] Pembaca yang tertarik lebih lanjut dengan masalah perang dalam PL dapat menelaah karya-karya lain seperti T. R. Hobbs, A Time for War: A Study of Warfare in the Old Testament (Old Testament Studies 3; Wilmington: Michael Glazier, 1989); Susan Niditch, War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence (Oxford: Oxford University Press, 1993), Tremper Longman III & Daniel G. Reid, God Is a Warrior (Studies in Old Testament Biblical Theology; Grand Rapids: Zondervan, 1995).

> "NADA SILITONGA"