PERANG DALAM PERJANJIAN LAMA:
PROBLEM REINTERPRETASI
(Yonky Karman)
Dalam pendahuluan Tractatus theologico-politicus (1670), filsuf keturunan Yahudi Baruch Spinoza (1632-1677), yang dibesarkan dalam tradisi kitab suci Ibrani dan Talmud, mengkritik perang dalam Perjanjian Lama (PL) sebagai berdampak negatif bagi agama dan pemahaman kitab suci sebagai wahyu ilahi. Menurutnya, Alkitab PL kehilangan otoritas dan sedikit saja relevansinya untuk hal etika dan kesalehan. Kritik Spinoza masih relevan sampai sekarang, kendati ada upaya-upaya yang dilakukan teolog dan ahli biblika untuk mengartikan fenomena perang dalam PL secara lebih positif.Problem
Kata Ibrani milkhamah (perang) muncul lebih dari 300 kali mulai dari kanon Torah (Kej. 14:2) sampai Ketubim (Dan. 9:26). Banyak fenomena perang dalam gambaran narasi PL (Yosua, Hakim-hakim, 1 Samuel) dilakukan tanpa belas kasihan. Tentu itu sungguh mengherankan mengingat PL bukan buku sejarah, melainkan kitab suci, wahyu dari Tuhan kepada manusia. Dalam Taurat, Tuhan terang-terangan mengarahkan umat Israel untuk berperang tanpa belas kasihan jika tawaran untuk berdamai ditolak (Ul. 20:10-18). Untuk bangsa yang jauh, setelah mereka dikalahkan, seluruh penduduk lelakinya harus dibunuh dengan pedang, yang lain ditawan, dan harta bendanya dirampas (ay. 13-15). Untuk bangsa yang dekat (Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi, dan Yebus), kota-kota mereka akan dialihkan menjadi milik Israel. Mereka juga akan ditumpas habis supaya orang Israel tidak dipengaruhi praktik-praktik agama mereka (ay. 16-18). Salah satu alasan kenapa Allah dalam PL merestui perang adalah dengan berbagai cara Tuhan telah digambarkan sebagai raja yang terlibat langsung dalam perang umat-Nya (divine warrior, Gibson, 1998:123-25)). Orang Israel pertama kali menyebut Yahweh sebagai ’is milkhamah ”pahlawan perang,” ketika pasukan Mesir yang mengejar mereka binasa (Kel. 15:3). Beberapa contoh berikut menggambarkan Tuhan sebagai pahlawan perang.
Siapakah Raja Kemuliaan itu? TUHAN, jaya dan perkasa, TUHAN, perkasa dalam peperangan (Mzm. 24:8)
Terpujilah TUHAN, gunung batuku, yang mengajar tanganku untuk pertempuran, dan jari-jariku untuk perang (Mzm. 144:1)
TUHAN keluar seperti pahlawan, seperti orang perang Ia membangkitkan semangat; Ia bertempik sorak, ya, Ia memekik, terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya (Yes. 42:13)
Kemudian TUHAN akan keluar dan berperang melawan bangsa-bangsa itu sebagaimana Ia berperang pada hari pertempuran (Za. 14:3)
Sering sebutan (epitet) tseba’ot (bentuk jamak dari tsaba’ artinya bala tentara) dikaitkan dengan citra Tuhan yang berperang (God of war). [1] Ada sepuluh kombinasi epitet tseva’ot nama TUHAN sebanyak 285 kali dalam bahasa Ibraninya: Yahweh tseba’ot ”TUHAN semesta alam” (240x, 1Sam. 1:3), Yahweh-’Elohim tseba’ot ”TUHAN, Allah semesta alam” (4x, Mzm. 59:6; 80:5, 20; 84:9), ’Elohim tseba’ot ”Allah semesta alam” (2x, Mzm. 80:8, 15), Yahweh ’Elohei tseba’ot ”TUHAN, Allah semesta alam” (14x, 2Sam. 5:10), Yahweh ’Elohei hatseba’ot ”TUHAN, Allah semesta alam” (2x, Hos. 12:6/5; Am. 6:14), Yahweh ’Elohei tseba’ot ’adonai”TUHAN, Allah semesta alam, Tuhanku” (1x, Am. 5:16), ’adonai Yahweh tseba’ot ”Tuhan ALLAH semesta alam” (15x, Yer. 2:19), ’adonai Yahweh hatseba’ot ”Tuhan ALLAH semesta alam” (1x, Am. 9:5), ’adonai Yahweh ’Elohei hatseba’ot ”Tuhan ALLAH, Allah semesta alam” (1x, Am. 3:13), ha’adon Yahweh tseba’ot ”Tuhan, TUHAN semesta alam” (5x, Yes. 1:24; 3:1; 10:16, 33; 19:4). (THAT 2:499)Ayat yang sering dipakai untuk mendukung pendapat bahwa epitet tseba’ot untuk Tuhan berkaitan dengan aktivitas-Nya dalam berperang adalah 1Sam. 17:45 ”TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel.” Dalam ayat itu, nama ”TUHAN semesta alam” dikaitkan dengan bala tentara Israel dan perang. Tuhan dipahami secara militeristik (bnd. ”The Lord of hosts” dalam banyak terjemahan Inggris).
Tentu saja keterlibatan Allah dalam perang menimbulkan masalah baik secara teologis, wahyu, maupun moral (Craigie, 1978:11). Citra Allah yang berperang tidak sesuai dengan citra-Nya sebagai Allah yang pengasih dan penyayang, Allah yang berkorban, atau bahkan dengan sebutan ”Raja Damai” (Yes. 9:5-6). Bagaimana perang bisa dipakai Tuhan sebagai sebuah cara mewahyukan diri-Nya dan wahyu itu menjadi bagian dari kitab suci? Bagaimana mesti menilai moralitas perang yang sudah melebihi fungsi mempertahankan diri atau menegakkan kedaulatan teritorial?
Nama Tuhan
Sebelum masuk ke dalam solusi teologis tentang masalah perang dalam PL, hendaknya epitet tseba’ot untuk nama Tuhan tidak terlalu cepat dikaitkan dengan citra Tuhan yang berperang. Arti epitet itu sendiri masih diperdebatkan (THAT 2:503). Itu sebabnya leksikon Ibrani yang belakangan tidak memutlakkan arti tseba’ot apakah itu bala tentara Israel, malaikat, atau bintang-bintang di langit. [2] Untuk menunjuk pada malaikat dan benda-benda angkasa, tsaba’tidak pernah ditulis dalam bentuk jamak tseba’ot (THAT 2:505), melainkan bentuk tseba’aw atau tseba’ hassamayim. [3] Untuk menunjuk pada tentara malaikat dipakai (kol) tseba’ hassamayim (1Raj. 22:19 // 2Taw. 18:18; Dan. 8:10; Neh. 9:6) atau kol tseba’aw (Mzm. 103:21; 148:2), sedangkan untuk menunjuk matahari, bulan, dan bintang-bintang dipakai kol tseba’ hassamayim (Ul. 4:19; 17:3; 2Raj. 17:16; 21:3 dan 5 // 2Taw. 33:3 dan 5; 2Raj. 23:4, 5; Yes. 34:4; Yer. 8:2; 19:13; 33:22; Zef. 1:5), kol tseba’am (Yes. 34:4; 45:12; Mzm. 33:6; Neh. 9:6), atau tseba’am saja (Yes. 40:26).
Arti yang terkandung dalam bentuk jamak tseba’ot diduga sudah bergeser dari bentuk tunggalnya, yakni sebagai intensiven Abstraktplural atau jamak intensif. Dua alasan mendukung pemahaman demikian demikian adalah (THAT 2:505-7), pertama, epitet tseba’ot paling sering diterjemahkan dalam LXX sebagai kurios pantokratôr ”Tuhan dari segala penguasa” (2Sam. 5:10), baru kemudian kurios Sabaôth (”Tuhan Sebaot”) meniru bunyi Ibraninya (terutama dalam 1Sam., Yes.), jarang sekali dengan kurios tôn dynameôn ”Tuhan yang kuat” (Mzm., 2Raj.). Kedua, ’adonai tseba’ot merupakan sebutan khusus untuk Tuhan yang bertakhta di atas kerubim (2Sam. 6:2 // 1Taw. 13:6; 1Sam. 4:4; bnd. 2Raj. 19:15 // Yes. 37:16; Mzm. 80:2; 99:1), menunjuk pada raja yang berkuasa. Dalam Kitab Samuel dan Yesaya, epitet ini menunjuk pada Tuhan yang atribut utama-Nya adalah keagungan raja (royal majesty).
Berbeda dari Septuaginta yang menerjemahkan Ibrani tseba’ot dengan tiga cara (kurios pantokratôr, kurios Sabaôth, kurios tôn dynameôn), versi-versi Alkitab modern berusaha konsisten dengan satu pilihan terjemahan. Alkitab Indonesia (TB) menerjemahkan tseba’ot sebagai ”semesta alam.” Yang menarik, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta dijumpai ungkapan ”Tuhan seru semesta sekalian” (bukan ”Tuhan semesta alam”) dengan arti ”Tuhan yang menguasai segala yang ada.” Apakah arti ini yang melatari terjemahan TB ”Tuhan semesta alam?” Alkitab Jerman versi Luther secara konsisten (PL dan PB) menirukan bunyi tseba’ot seperti Septuaginta ”HERR/Herr Zebaoth.” Seperti banyak versi Inggris lainnya, NKJV menerjemahkan ”The LORD of hosts” (Rom. 9:29, Yak. 5:4 NKJV: ”the LORD/Lord of Sabaoth” sesuai bunyi teks Yunani). Beberapa pakar bahasa Ibrani Indonesia setuju bahwa terjemahan ”TUHAN semesta alam” (TB) untuk Yahweh tseba’ot kurang tepat dan menganjurkan terjemahan ”Tuhan yang Mahakuasa” (bnd. BIS, NIV ”the LORD/Lord Almighty” Baker, 2000).
Tampaknya, terjemahan ”TUHAN yang Mahakuasa” memang perlu dipertimbangkan mengingat Septuaginta lebih banyak memakai terjemahan kurios pantokratôr yang artinya dekat sekali dengan ”Tuhan yang Mahakuasa”. Selain itu, nama kurios pantokratôr dan kurios Sabaôth muncul hanya tiga kali dalam PB dengan gagasan Tuhan yang mahakuasa: kurios pantokratôr sekali (2Kor. 6:18 TB ”Tuhan, Yang Mahakuasa”) dankurios Sabaôth dua kali (Rm. 9:29, Yak. 5:4 TB ”Tuhan semesta alam”). Dalam Kitab Roma, Paulus sedang mengutip Yesaya 1:9 dan menjelaskan adanya sedikit orang Yahudi saat itu yang percaya pada Yesus sebagai Mesias merupakan bukti kekuasaan Tuhan. Ia tidak menghukum habis Israel seperti Sodom dan Gomora. Dalam Kitab Yakobus, nama Tuhan disebut dalam konteks agar jemaat yang kaya saat itu tidak menahan upah buruh mereka yang telah bekerja, sebab keluhan para buruh telah didengar Tuan segala tuan. Demikianlah, gagasan ”Tuhan yang Mahakuasa” dari PL diteruskan ke dalam PB, sehingga layak dipertimbangkan arti tersebut untuk epitet Tuhan tseba’ot. Dengan arti ini, tseba’ot untuk Tuhan tidak harus dikaitkan dengan aktivitas berperang sebagaimana pemahaman sebagian sarjana biblika.
Cara Tafsir
Secara garis besar ada empat cara menafsir ihwal perang yang direstui Tuhan dalam PL. Pertama, arti harafiah teks dihindari atau historisitas dari kejadian yang dilaporkan ditolak. Untuk menghindari konsekuensi moral-teologis dari masalah perang dalam PL, cara lain yang dipakai adalah dengan mengkategorikan narasi-narasi perang di Alkitab sebagai bukan realitas sejarah. Bagi penganut hipotesis Sejarah Deuteronomik, Kitab Yosua s/d 2 Raja-raja merupakan hasil refleksi umat Israel (pasca)pembuangan agar generasi mereka dan seterusnya setia kepada Tuhan. Cerita-cerita tentang perang itu hanya dimaksudkan sebagai bahan pengajaran iman, bukan menyajikan kejadian sesungguhnya. Sebagai contoh, setelah mendapati ketidakcocokan temuan arkeologis dengan beberapa data dalam Kitab Yosua, yang diambil hanya makna teologis pendudukan tanah Kanaan oleh bangsa Israel.
One possible explanation is that the text in Joshua is not as interested in historical details as it is in making the theological point that the victory was engineered by Yahweh, the Divine Warrior. (Matthews dan Moyer, 1997: 70).
Cara tafsir seperti ini masih menyimpan persoalan. Mengapa untuk membina iman umat dipakai cerita-cerita perang, yang memberikan kesan bahwa Tuhan merestui berbagai tindak kekerasan dalam perang? Mengapa narator Alkitab tidak memakai bahan pengajaran iman yang lebih bersifat damai?
Kedua, historisitas kejadian perang dalam PL tidak dipersoalkan. Kemenangan orang Israel dalam perang diartikan secara rohani sebagai kemenangan iman yang teguh, kemenangan dalam peperangan rohani. Berikut ini sebuah contoh perohanian instruksi pembantaian massal atas penduduk Kanaan (Ul. 20:16-18).
Accomodation to morally corrupt and idolatrous Canaanite religion would imperil Israel’s uniqueness as the Lord’s holy people. It would ruin them, exalt idols and grieve God (Brown, 1993: 200).
Persoalannya, bolehkah atas nama menjaga kemurnian iman, pihak-pihak yang tidak terlibat perang, seperti anak-anak dan perempuan, ikut dibunuh? Bukankah pendudukan Tanah Perjanjian di mata orang Kanaan dapat dikategorikan sama dengan penjajahan?
Ketiga, realitas perang itu diakui secara serius sebagai degradasi moral. Konsep Tuhan sebagai pahlawan perang dalam PL dipandang sebagai primitif pra-Kristen, murni hasil imajinasi manusia tentang Tuhan, dan sama sekali bukan konsep hasil wahyu. Konsep Tuhan sebagai pahlawan perang adalah cara orang Israel kuno mengidentifikasi Yang Ilahi sama seperti bangsa-bangsa lain pada zaman itu memiliki dewa perangnya masing-masing. Karena itu, nurani umat Kristen tidak perlu merasa terganggu dengan konsep itu. Standar moral-teologis mereka adalah PB. Konsep Allah dalam PL itu dapat dibuang dan diganti dengan konsep yang ada dalam PB, yang Kristen, yang lebih mulia. Itulah Allah yang mengasihi. Pandangan itu diadopsi dari ilmu sejarah agama-agama, sebuah tinjauan fenomenologis tentang perkembangan (evolusi) agama.
Akhirnya, Craigie (1978:37-38) mewakili pendekatan keempat. Ia mengkritik teolog modern yang mengambil begitu saja teori evolusi agama atau menilai PL secara teologis sudah kadaluwarsa. Craigie merujuk pada PB ketika Stefanus dan Paulus membenarkan konsep Allah sebagai yang memerdekakan bangsa Israel dari Mesir (Kis. 7:35-36; 13:17). Itulah cikal bakal konsep Tuhan sebagai pahlawan perang dalam PL. Karena itu, ia menolak PB sebagai hasil perkembangan linier PL seperti gerak maju ilmu pengetahuan dan teknologi (Craigie, 1978: 38n10).
Too easily, it may be assumed that the extraordinary developments in science and technology are paralleled by developments in ethics and morality. But in the matter of war, mankind has not clearly progressed, and may indeed have regressed from the standards of the Biblical period.
Dengan kritis Craigie menegaskan, dalam ukuran moralitas zaman yang lebih modern tidak serta-merta berarti lebih baik daripada zaman kuno. Tidak sulit memahami yang dimaksud Craigie. Betapa mengenaskannya para korban budak seks oleh tentara Jepang pada Perang Dunia Kedua, pemusnahan etnis Bosnia, para korban perang di negara-negara Afrika sampai hari ini. Memang ada Konvensi Geneva yang membatasi tindak sadisme dalam perang modern. Namun, bukankah konvensi itu diberlakukan karena realitas dalam perang-perang yang dilakukan manusia modern?
Sayang, teori evolusi agama dalam praktiknya secara subtil hidup di kalangan Kristen tertentu berkat kerancuan dengan paham wahyu progresif (progressive revelation). Wahyu progresif adalah cara Allah untuk menyatakan diri secara bertahap dalam satu kurun waktu tertentu, dan dari waktu ke waktu penyataan itu semakin jelas. Substansi wahyu yang kemudian tidak bertentangan dengan substansi wahyu sebelumnya dan juga tidak membatalkannya, tetapi melengkapi. Namun, secara keliru wahyu progresif dipahami sebagai perkembangan wahyu secara evolusioner yang klimaksnya adalah kesempurnaan dalam PB. Konsekuensinya, yang sempurna meniadakan yang tidak sempurna. Itu sebabnya sekalipun dalam pengakuan iman, otoritas PL dan PB diakui sama selaku firman Allah, dalam praktiknya PB lebih diutamakan dan wahyu dalam PL dianggap kelas dua. Padahal, bagi orang Kristen generasi pertama di Palestina, PL adalah firman Allah, tidak kurang dari itu. Mengapa generasi Kristen berikutnya menggeser PL ke status kelas dua? Dengan menjadi ”marcionis” [4] dalam praktik, sebenarnya tersirat sikap tidak konsisten orang Kristen terhadap kitab sucinya sendiri.
Craigie menerima historisitas narasi perang dalam PL sekalipun disadari tidak mudah menjelaskannya. Yang menarik, ia melihat perang-perang itu dalam bingkai seluruh pewartaan Alkitab. Sekalipun Allah nyata terlibat dalam perang-perang Israel, Israel tetap sebuah bangsa yang terdiri atas orang-orang berdosa dan institusi pemerintahannya bersifat duniawi, termasuk memakai perang sebagai cara mempertahankan eksistensinya (ps. 6). Menurutnya, perang murni berasal dari hawa nafsu manusia (Yak. 4:1, NKJV).
Itu juga penegasan Terry L. Brensinger (1999: 237-38) ketika menyoroti kekejaman perang yang dilakukan orang Israel dalam Kitab Hakim-hakim sebagai tindakan yang banyak tercampur unsur-unsur emosi dan ambisi manusia yang sebenarnya tidak direstui Allah.
A great deal of the bloodshed in Judges has nothing whatever to do with God. Instead, it continually grows out of a multitude of human emotions and ambitions .... these warlike adventures are humanly designed and initiated.
Sebagai contoh, Brensinger mengambil kisah Gideon (ps. 8) dan Samson (15:7-8) yang bertindak kejam untuk memuaskan dendam pribadi. Abimelekh menghabisi begitu banyak orang demi ambisi kekuasaan (ps. 9). Yefta menghabisi kaum Efraim karena kebencian (12:1-6). Akhirnya, orang Israel secara kolektif melakukan kekejaman perang sebagai solusi untuk problem yang sebenarnya mereka buat sendiri (ps. 21). Menurut Bensinger, tidak satu kali pun dalam kasus-kasus itu Tuhan memerintahkan orang Israel bertindak kejam. Dan usai perang, Tuhan juga tidak memberikan penghargaan atas tindakan brutal mereka.
Kenyataan di mana Tuhan dibawa-bawa dalam perang umat, melahirkan salah kaprah dengan munculnya terminologi ”perang suci” dalam wacana studi PL, seperti judul buku monumental Gerhard von Rad Der heilige Krieg im alten Israel (1951). [5] Yang memprihatinkan sebenarnya adalah anggapan bahwa agama Kristen mengenal semacam perang jihad seperti terjadi pada Perang Salib yang mengisi lembaran hitam sejarah gereja. Tetapi menurut Craigie (1978: 48-50), istilah ”perang suci” tidak ada dalam PL dan asal-usul konsep itu berasal dari kultur Yunani kuno. Yang ada dalam Alkitab adalah milkhamot Yahweh ”perang-perang TUHAN” (Bil. 21:14 TB ”peperangan TUHAN”; 1Sam. 18:17, 25:28 TB ”perang TUHAN”). Itu sebabnya mengingat kebrutalan dan kekejaman perang, Craigie (49) keberatan dengan istilah ”perang suci.”
While it is clear that the wars were religious in character, were they holy? Did God’s command and God’s presence transform something essentially evil into a holy act? Can the ruthless requirement for the extermination of the enemy—men, women, and children—in any way be regarded as holy? I think that it can not!
Perang yang membawa-bawa agama seperti dalam PL, sekalipun atas perintah Tuhan, tidak serta-merta suci dalam pelaksanaannya. Terlalu banyak unsur hawa nafsu manusia yang terlibat. Namun, pada satu fase sejarah keselamatan, perang demikian pernah dibenarkan Tuhan. Keterlibatan Tuhan di situ lebih dikarenakan proses sejarah umat Israel, bukan menjadi pembenaran atas perang itu sendiri. Bagaimanapun, larangan membunuh tetap berlaku (ps. 5). [6] Namun, pada tahap itu, kalah dalam perang bagi umat Israel merupakan konsekuensi dari kegagalan mereka memelihara perjanjian dengan Tuhan dan melakukan perintah-perintah-Nya dengan setia (ps. 7). Visi global Tuhan dalam jangka panjang dan abadi adalah perdamaian (ps. 8).
Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. (Yes. 2:4 // Mi. 4:3)
Menurut visi Alkitab, perang hanya akan membuahkan perang lain. Sebisanya dan sebanyak-banyaknya peralatan perang harus diubah menjadi peralatan pertanian. Sampai di sini kita perlu berhenti dan segera masuk ke dalam evaluasi kritis. [7]
Reinterpretasi
Menimbang beberapa solusi tentang perang dalam PL, ternyata selain interpretasi pada lapis pertama, harus ada juga interpretasi pada lapis kedua (Karman: 2000). Pada lapis pertama, perang dalam PL secara prima facie mendapat pembenaran teologis. Perang yang menghalalkan darah musuh termasuk mereka yang tidak terlibat perang, pembakaran, penjarahan, semua kejahatan kemanusiaan itu (crimes against humanity) mengalami peluhuran (sublimasi). Namun, jika interpretasi berhenti di situ, sikap-sikap fundamentalistik dapat menguat dalam penyelesaian masalah melalui kekerasan dan perang. Contoh gamblang adalah Zionisme dan pelecehan hak-hak warga Palestina di Timur Tengah. Di dekat kita, konflik Maluku (Ambon) dan Poso berkembang menjadi pertikaian antarumat beragama.
Praktik-praktik perang dalam PL tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Selalu ada maksud-maksud soteriologisnya, yakni demi efek pengudusan dan keselamatan umat masa itu. Pembenaran perang itu hanya berlaku untuk masa itu. Perang pada masa itu merupakan peristiwa konstitutif bagi proses kelahiran Israel sebagai umat Allah. Maka, contoh-contoh perang dalam PL tidak untuk diulangi pada zaman yang berikutnya, cukuplah untuk masa itu saja (einmalig). Karena sifat einmalig-nya itu, perang yang dibenarkan dalam PL tidak serta-merta menjadi pedoman moral preskriptif untuk masa sesudahnya yang kondisi sosialnya sudah berbeda. Untuk masa yang berbeda itu, diperlukan interpretasi atas interpretasi lapis pertama (reinterpretasi) supaya yang diamalkan bukan kehancuran dan kematian tetapi kehidupan dan kesejahteraan.
Kalau begitu, perang dalam PL dapat dikatakan merupakan problem teologis dan reinterpretasi. Dengan mengkategorikannya sebagai problem teologis, tidak berarti kriteria evaluasi dari hak-hak asasi manusia diabaikan. Justru, setelah menafsir teks-teks perang dalam kerangka sejarah keselamatan, tahap berikutnya adalah menafsir teks-teks itu dalam konteks kesadaran akan hak-hak asasi yang semakin tinggi. Dengan reinterpretasi ini, perang dalam PL tidak dijadikan sebuah model solusi konflik. Untuk masa kini dan seterusnya, perdamaianlah yang menjadi visi sejarah keselamatan.
Kepustakaan
Baker, D. L., et al. 2000. Pengantar Bahasa Ibrani. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brown, Raymond. 1993. The Message of Deuteronomy: Not by Bread Alone. Leicester: IVP.
BDB Brown F., S.R. Driver, dan C.A. Briggs. 1907. A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament. Oxford: Clarendon, 1907.
Brensinger, Terry L. 1999. Judges (Believers Church Bible Commentary). Scottdale: Herald.
Craigie, Peter C. 1978. The Problem of War in the Old Testament. Grand Rapids: Eerdmans.
Karman, Yonky. 2000. ”Sublimasi Kekerasan dalam Agama.” Kompas 8 September.
Matthews, Victor H., Moyer, James C. 1997. The Old Testament: Text and Context. Peabody: Hendrickson.
THAT Theologisches Handbuch zum Alten Testament, ed. E. Jenni dan
C. Westermann, 2 Jilid, Munich, 1971-1976.
[1] F. Brown, S. R. Driver, dan C. A. Briggs, A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (Oxford: Clarendon, 1907) atau BDB, ab'c' (tsava - 4), 839. Lihat juga Craigie (1978: 35-36).
[2] Perhatikan tanda tanya untuk ketiga arti itu pada A Concise Hebrew and Aramaic Lexicon of the Old Testament (ed. W. L. Holladay, Grand Rapids, 131993), ab'c' (tsava - B), 302. Sementara itu, BDB, ab'c' (tsava - 4), 839, berpendapat bahwa konsep malaikat dan bintang-bintang sebagai pasukan Tuhan lebih belakangan.
[3] Untuk daftar ayat yang lengkap, lihat BDB, ab'c' (tsava - 1b-c), 839.
[4] Karena tidak mampu memahami kontradiksi-kontradiksi di antara PL dan PB, Marcion († ca. 160 AD) menolak PL dan hanya mengakui PB sebagai yang benar-benar firman Tuhan. Ia menerbitkan PB menurut versinya sendiri yang terdiri atas Injil Lukas yang telah disingkat dan sepuluh surat kiriman Paulus minus surat-surat penggembalaan.
[5] Atau Holy War in Ancient Israel (Tr. dan ed. M. J. Dawn; Grand Rapids: Eerdmans, 1991).
[6] Menurut hemat saya, argumen Craigie dapat dibandingkan dengan sistem perbudakan yang sudah melekat dalam institusi sosial pada zaman Alkitab. Tuhan dalam PL, Yesus dalam PB, bahkan Paulus tidak berkampanye melawan perbudakan. Namun, tidak berarti Tuhan membenarkan praktik perbudakan. Umat manusia perlu waktu hampir dua ribu tahun lagi untuk sampai pada kesadaran kolektif bahwa perbudakan harus dikecam.
[7] Pembaca yang tertarik lebih lanjut dengan masalah perang dalam PL dapat menelaah karya-karya lain seperti T. R. Hobbs, A Time for War: A Study of Warfare in the Old Testament (Old Testament Studies 3; Wilmington: Michael Glazier, 1989); Susan Niditch, War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence (Oxford: Oxford University Press, 1993), Tremper Longman III & Daniel G. Reid, God Is a Warrior (Studies in Old Testament Biblical Theology; Grand Rapids: Zondervan, 1995).
> "NADA SILITONGA"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar